11% Penduduk Indonesia Berisiko Diabetes
Angka prevalensi penderita diabetes tanah air berdasarkan data Departemen Kesehatan (Depkes) pada tahun 2008 mencapai 5,7% dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 12 juta jiwa. Yang mengejutkan, angka prevalensi pre-diabetes mencapai dua kali lipatnya atau 11% dari total penduduk Indonesia. Berarti, jumlah penduduk indonesia yang terkena diabetes akan meningkat dua kali lipat dalam beberapa waktu mendatang.
Fakta tersebut disampaikan DR. dr. Achmat Rudijianto, SpPD-KEMD, ketua Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia) dalam acara Peringatan Hari Diabetes Dunia yang berlangsung di Jakarta, Senin (9/11).
Achmat juga mencatat, pada daerah seperti Papua Barat memiliki angka prevalensi diabetes terhitung kecil dari angka rata-rata diabetes nasional yaitu berada pada angka 1,7 % namun angka prevalensi prediabetes bisa mencapai 20 kali lipatnya atau sekitar 21.6%.
"Kalau dibiarkan 12 juta penderita diabetes pada tahun 2010 akan meningkat 2 kali lipat atau menjadi 24 juta jiwa pada tahun 2030," tukasnya.
Achmat menambahkan, 50% dari individu yang berada pada posisi pre-diabetes akan menderita diabetes. Terlebih angka individu pre-diabetes tertinggi berada pada rentang usia 12-17 tahun dengan prosentase 27%.
"Umumnya faktor resiko penyebab pre-diabetes merupakan kegemukan dan gaya hidup. Apalagi remaja yang merupakan usia paling rentan. Mereka bukan lagi disebut anak-anak dan juga orang dewasa. Maka perhatian terhadap gaya hidup anak mutlak diperlukan," tegasnya.
Oleh karena itu, masih menurut Achmat, fase pre-diabetes ini yang kemudian menjadi fokus Federasi Diabetes Internasional untuk mencegah meningkatnya jumlah angka penderita diabetes."Program edukasi perlu dijalankan sebagai solusi menekan angka prevalensi pre-diabetes sebelum mencapai fase diabetes," tegasnya.
Pentingnya Edukasi
Tindak pencegahan merupakan solusi efektif namun sering diacuhkan. Ibarat pepatah "Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu", keberadaan tindak pencegahan seolah menjadi angin lalu. Padahal, biaya kesehatan yang dikeluarkan dapat ditekan ketika menjalankan langkah pencegahan.
Namun, edukasi yang diperlukan bukanlah semacam seminar atau lebih lebih kepada teori. Diperlukan sebuah keseimbangan antara praktek dan teori guna menjadi kunci sukses menangkal perkembangan pre-diabetes menjadi diabetes.
Menurut DR. Roy Panusunan SpPD-KEMD, ketua konsultasi diabetes RS Pantai Indah Kapuk, keberadaan edukator diakui sering dianggap remeh. Walau sebenarnya tidak semua individu pre-diabetes dan penderita diabetes memahami betul segala hal tentang diabetes. "Peran edukator memang terlihat sederhana tapi akan menjadi kompleks ketika mengintegrasikan diri dengan kultur masing-masing penderita diabetes," tukas Roy.
Dia mencontohkan, bagaimana negara Naulu yang berada di tengah samudera pasifik menangani tingginya angka penderita diabetes. Negara tersebut hanya memiliki luas 21 kilometer persegi dengan populasi penduduk sekitar 13.000 jiwa. Guna mengangani masalah diabetes di wilayahnya, negara tersebut mewajibkan warganya untuk senantiasa membawakan tari tradisional negara tersebut secara rutin melalui panduan edukator.
Dari contoh tersebut, kata Roy, bisa dijadikan panduan bahwa edukasi harusnya berbaur dengan kultur masyarakat. Dengan begitu program kesehatan untuk menekan laju penderita diabetes bisa dilakukan secara optimal. Adapun program yang disarankan meliputi pemberian seminar kesehatan, konsultasi gizi, perawatan kaki, senam diabetes secara rutin dan jalan kaki minimal 30 menit dalam sehari.
"Program ini, apabila dilakukan secara terintegrasi, konsisten dan terpadu dapat menghasilkan manfaat yang maksimal. Minimal, pasien dengan sendirinya akan menikmati bahkan menjadikannya semacam gaya hidup yang baru, " tukasnya.
Sering Bingung
Sering kali, individu pre-diabetes merasa bingung untuk mencari informasi dan pencegahan yang tepat. Pada akhirnya, sebagian besar dari mereka melalui fase diabetes.
Bong Lay Tjun misalnya, pria berusia 48 tahun ini merupakan satu dari sekian banyak individu pre-diabetes yang akhirnya menjadi diabetes lantaran minimnya informasi yang diketahui. Akibatnya, selama 18 tahun lebih, Tjun hidup dengan diabetes. "Saya bingung mau tanya kemana? Tanya ke orang yang bukan ahlinya malah tambah amburadul, " imbuhnya.
Tjun, awalnya merupakan individu yang memiliki kebiasaan buruk mengkonsumsi kopi dengan memakai gula mencapai 3 sendok makan. Selain itu, Tjun juga gemar mengkonsumsi makanan apapun jauh melebihi jumlah kalori yang dibutuhkan. Maka tak heran, saat dicek gula darahnya, kandungan gula dalam darah Tjun mencapai angka 300 dan 400 dengan A1C yang mencapai angka 8.
Tjun akhirnya mengikuti program edukasi "Pandu Diabetes" yang dijalankan Rumah sakit Pantai Indah Kapuk. Berkat program tersebut, Tjun kini tak lagi bergantung pada obat-obatan.
"Edukasi itu memberitahu hal-hal yang kami tidak tahu. Seperti misal, bagaimana kami menjaga pola makan dan melakukan senam secara rutin. Edukasi juga menghindarkan saya dari stres karena larangan-larangan yang berasal dari orang-orang yang tak memahami benar diabetes," tukasnya.
Tjun mengarisbawahi, pelaksanaan program edukasi akan berhasil apabila diikuti mind set yang kuat untuk sembut dari diabetes. Masalah mind set ini yang dianggap Tjun merupakan hal yang terberat dan tersulit. "Saya kira, bantuan dan dukungan orang-orang terdekat akan menjadikan segala sesuatu jauh lebih mudah," tukasnya.
Hal itu, juga dibenarkan oleh Dr. Roy. Menurut dia, masalah kultur dan pola pikir merupakan hal yang terkait. Bedanya, pola pikir terbentuk dari lingkungan atau kultur. Bila lingkungan atau kultur memahami betul masalah diabetes maka akan berimplikasi pada pola pikir.
"Perubahan pola pikir memang hal tersulit karena menyangkut penanaman nilai-nilai pendidikan dari awal," tegasnya. Maka dari itu, tambahnya, persoalan pola pikir memerlukan proses yang panjang dan perlu dukungan dari dalam diri pasien dan keluarganya.
No comments:
Post a Comment